WELCOME TO MY BLOGSITE

Dany Satyogroho's Blogsite

Blog Archive

Datos personales

Dany Satyogroho@. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

My Twitter

Follow KetheggOglenkz on Twitter

Buddy Hamster

Cari Blog Ini


Masukkan Code ini K1-B49E7D-F
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com
Selasa, 09 November 2010

Adab dan Etika Hubungan Suami Istri Menurut Islam

Hubungan suami-isteri tidak hanya berdampak pada psikologis suami dan isteri, tetapi juga akan berdampak pada mental anak. Jika hubungan tersebut membuahkan keturunan. Karena itu, begitu pentingnya hal ini Rasulullah saw kepada manantunya Imam Ali bin Abi Thalib (ra).

Dalam hadis yang bersumber dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah saw pernah berwasiat kepada menantunya Ali bin Abi Thalib (ra):

"Wahai Ali, jika isterimu memasuki rumahmu, hendaknya melepaskan sandalnya ketika ia duduk, membasuh kedua kakinya, menyiramkan air dimulai dari pintu rumahmu sampai ke sekeliling rumahmu. Karena, dengan hal ini Allah mengeluarkan dari rumahmu 70.000 macam kefakiran dan memasukkan ke dalamnya 70.000 macam kekayaan, 70.000 macam keberkahan, menurunkan kepadamu 70.000 macam rahmat yang meliputi isterimu, sehingga rumahmu diliputi oleh keberkahan dan isterimu diselamatkan dari berbagai macam penyakit selama ia berada di rumahmu.

Cegahlah isterimu (selama seminggu dari awal pernikahan) minum susu dan cuka, makan Kuzbarah (sejenis rempah-rempah, ketumbar) dan apel yang asam. Ali bertanya: Ya Rasulullah, mengapa ia dilarang dari empat hal tersebut?

Rasulullah saw menjawab: Empat hal tersebut dapat menyebabkan isterimu mandul dan tidak membuahkan keturunan. Sementara tikar di rumahmu lebih baik dari perempuan yang mandul.

Imam Ali (sa) bertanya: Ya Rasulullah, mengapa ia tidak boleh minum cuka?
Rasulullah saw menjawab: Cuka dapat menyebabkan tidak sempurna kesucian dari haidnya; Kuzbarah menyebabkan darah haid berakibat negatif terhadap kandungannya dan mempersulit kelahiran; sedangkan apel yang asam dapat menyebabkan darah haid terputus sehingga menimbulkan penyakit baginya. Kemudian Rasulullah saw berwasiat:

Pertama: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu pada awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan, karena hal itu mempercepat datangnya penyakit gila, kusta, dan kerusakan syaraf padanya dan keturunannya.

Kedua: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sesudah Zhuhur, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jiwa anak mudah goncang, dan setan sangat menyukai manusia yang jiwanya goncang.

Ketiga: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sambil berbicara, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kebisuan. Dan janganlah seorang suami melihat kemaluan isterinya, hendaknya memejamkan mata ketika berhubungan, karena melihat kemaluan dapat menyebabkan kebutaan pada anak.

Keempat: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dengan dorongan syahwat pada wanita lain (membayangkan perempuan lain), karena (bila dikaruniai anak) dikhawatirkan memiliki mental seperti wanita itu dan memiliki gangguan psikologis.

Kelima: Wahai Ali, barangsiapa yang bercumbu dengan isterinya di tempat tidur janganlah sambil membaca Al-Qur'an, karena aku khawatir turun api dari langit lalu membakar keduanya.

Keenam: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dalam keadaan telanjang bulat, juga isterimu, karena khawatir tidak tercipta keseimbangan syahwat, yang akhirnya menimbulkan percekcokan di antara kalian berdua, kemudian menyebabkan perceraian.

Ketujuh: Wahai Ali, janganlah menggauli isterimu dalam keadaan berdiri, karena hal itu merupakan bagian dari prilaku anak keledai, dan (bila dianugrahi anak) ia suka ngencing di tempat tidur seperti anak keledai ngencing di sembarangan tempat.

Kedelapan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam 'Idul Fitri, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan anak memiliki banyak keburukan.

Kesembilan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam 'Idul Adhha, karena (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jari-jarinya tidak sempurna, enam atau empat jari-jari.

Kesepuluh: wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah pohon yang berbuah, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang penyambuk atau pembunuh atau tukang sihir.

Kesebelas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah langsung sinar matahari kecuali tertutup oleh tirai, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kesengsaraan dan kefakiran sampai ia meninggal.

Kedua belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di antara adzan dan iqamah, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka melakukan pertumpahan darah.
Ketiga belas: Wahai Ali, jika isterimu hamil, janganlah menggaulinya kecuali kamu dalam keadaan berwudhu', karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia buta hatinya dan bakhil tangannya.

Keempat belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam Nisfu Sya'ban, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan tidak bagus biologisnya, bertompel pada kulit dan wajahnya.

Kelima belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada akhir bulan bila sisa darinya dua hari (hari mahaq)1), karena hal itu (bila anugrahi anak) dapat menyebabkan ia suka bekerjasama dan menolong orang yang zalim, dan menjadi perusak persatuan kaum muslimin.

Keenam belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di atas dak bangunan ( yang tidak beratap), karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang munafik, riya', dan ahli bi'ah.

Ketujuh belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu ketika hendak melakukan perjalanan (bermusafir), jangan menggaulinya pada malam itu, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka membelanjakan harta di jalan yang tidak benar (pemboros). Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah swt:

إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنَ.
"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan." (Al-Isra': 27).

Kedelapan belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu jika kamu hendak bermusafir 3 hari 3 malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi penolong orang yang zalim.

Kesembilan belas: Wahai Ali, gauilah isterimu pada malam senin, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi pemelihara Al-Qur'an, ridha terhadap pemberian Allah swt.

Kedua puluh: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Selasa, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia dianugrahi syahadah setelah bersaksi "Sesungguhnya tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah", tidak disiksa oleh Allah bersama orang-orang yang musyrik, bau mulutnya harum, hatinya penyayang, tangannya dermawan, dan lisannya suci dari ghibah dan dusta.

Kedua puluh satu: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Kamis, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi ahli hukum dan orang yang 'alim.

Kedua puluh dua: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada hari Kamis setelah matahari tergelincir, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia tidak didekati setan sampai berubah rambutnya, menjadi orang yang mudah paham, dan dianugrahi oleh Allah Azza wa Jalla keselamatan dalam agama dan di dunia.

Kedua puluh tiga: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum'at, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang orator. Jika kamu menggauli isterimu pada hari Jum'at setelah Ashar, (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang terkenal, termasyhur dan 'alim. Jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum'at sesudah 'Isya', maka diharapkan kamu memiliki anak yang menjadi penerus, insya Allah.

Kedua puluh empat: Wahai Ali, jangan gauli isterimu pada awal waktu malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang tidak beriman, menjadi tukang sihir yang akibatnya buruk di dunia hingga di akhirat.

Kedua puluh lima: Wahai Ali, pegang teguhlah wasiatku ini sebagaimana aku memeliharanya dari Jibril (as).
(Kitab Makarimul Akhlaq: 210-212)

1) Hari Mahaq adalah hari terakhir dari setiap bulan Hijriyah, yakni tanggal 29 atau 30. Berdasarkan fiqih yang bersumber dari Ahlul bait Nabi saw pada hari-hari tersebut makruh hukumnya melangsungkan akad nikah.

Sumber :
http://id.alfusalam.web.id
http://shalatdoa.blogspot.com


Windows® phone
Senin, 01 November 2010

Hak Istri dan Kewajiban Suami

Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?

Dalam Al Qur'an yang tidak mungkin disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf." (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman;
"Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf."

Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, "Apabila para istri menta'ati Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menta'ati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya." (Jami'ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)

Al-'Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, "Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma'ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman." (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)

Hakim bin Mu'awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu'awiyah bin Haidah radhiyallahu 'anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?"

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا "Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya(1), dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami'ush Shahih, 3/86)

Ketika haji Wada', Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ "Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka." (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.

Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:

1. Mendapat mahar
Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (An-Nisa`: 4)
"…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban." (An-Nisa`: 24)

Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:
"Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi." (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)(2)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, "Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan." (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)

Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan:
"Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain(3), sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak(4), maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?" (An-Nisa`: 20)

2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma'ruf) dan dengan akhlak mulia
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya." (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: "Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam hal ini:

"Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku."

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak 'Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: "(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat 'Isya, biasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

3. Mendapat nafkah dan pakaian
Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
"…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf." (Al-Baqarah: 233)

Demikian pula firman-Nya:

"Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. ." (Ath-Thalaq: 7)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, "Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma'ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu'awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu 'Utbah radhiyallahu 'anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu 'anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit(5). Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya(6)." Bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma'ruf." (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, "Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri." (Al-Minhaj, 11/234)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika haji Wada' berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
"Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)(7) karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu(8), terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata(9). Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka." (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma' (kesepakatan ulama).

Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
"Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya." (Ath-Thalaq: 7)

4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal
Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:

"Bergaullah kalian dengan para istri secara patut." (An-Nisa`: 19)

adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

5. Wajib berbuat adil di antara para istri
Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya." (An-Nisa`: 3)

Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Siapa yang memiliki dua istri(10) lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh." (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. ('Aunul Ma'bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq 'ala Hada`iqil Azhar, 2/314)

Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:


"Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung." (An-Nisa`: 129)

Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.

Al-Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, "Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka." (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, "Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma'ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda." (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima', karena jima' ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab 'Isyratun Nisa`, Al-Majmu', 16/433)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, "Jima' bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima'…." (Al-Majmu', 16/433)

6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama
Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…." (At-Tahrim: 6)

Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma'ani, 138/780,781)

Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu 'anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, "Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:

"Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka." (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)

Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu." (HR. Muslim no. 5547)

7. Menaruh rasa cemburu kepadanya
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.

Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa'd bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:

"Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)(11)."

Mendengar ucapan Sa'd yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

"Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa'd? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa'd dan Allah lebih cemburu daripadaku." (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:

"Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya." (An-Nur: 4)

Berkatalah Sa'd bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu: "Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya."

Mendengar ucapan Sa'd, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?"
Orang-orang Anshar pun menjawab: "Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat."

Sa'd berkata: "Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi aku cuma heran." (Fathul Bari, 9/348)

Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:

a. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:

"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang." (Al-Ahzab: 59)

b. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:

"Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: 'Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…'." (An-Nur: 31)

c. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.

"… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita." (An-Nur: 31)

4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita." Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar(12)?" Beliau menjawab, "Ipar itu maut(13)." (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.
Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.

Wallahua'lam.

---------------------------------

1. Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, "Semoga Allah menjelekkanmu", atau yang semisalnya. ('Aunul Ma'bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah 'ala Zaujiha)

2. Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa'd As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.
Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya." Rasulullah balik bertanya, "Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?"

"Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah," jawab si lelaki. "Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu," titah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, "Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah." Rasulullah bersabda, "Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi."

Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, "Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, "(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)"-. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun."

Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, "Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?" "Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–," jawabnya.

"Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?" tanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lagi. "Iya," jawabnya. "Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal."

3. Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).

4. Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

5. Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)

6. Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
"Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?"

7. Al-Qadhi berkata: "Al-Istisha' adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah 'aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini'." (Tuhfatul Ahwadzi)

8. Maksudnya selain istimta' (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)

9. Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)

10. Misalnya ia punya dua istri. ('Aunul Ma'bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

11. Sa'd memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)

12. Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)

13. Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (laki-laki yang bukan kerabat).

Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.

Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)

Windows® phone
Minggu, 31 Oktober 2010

Memahami Keutamaan Sholat Malam


"Memahami Keutamaan (atammah) Shalat Malam"
Shalat tahajjud adalah shalat yang paling utama setelah shalat wajib
"Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail" [Hadits Riwayat. Muslim no. 1163]
"Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam)" (Muttafaqun 'alaih)
Orang yang menegakkan qiyamullail akan terpelihara dari gangguan setan, dan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya
Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: "Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya" (Muttafaqun 'alaih)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga menceritakan: "Setan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan 3 ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): "Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak." Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta'ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih)" (Muttafaqun 'alaih)
Mengetahui di malam hari itu ada 1/3 malam terakhir dimana Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, memberi sesuatu bagi yang memintaa, dan mengampuni yang memohon ampun pada-Nya
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasannya Nabi bersabda: "Allah turun ke langit dunia setiap malam pada 1/3 malam terakhir. Allah lalu berfirman, Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan! Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri! Siapa yang meminta ampun kepada-Ku tentu Aku ampuni. Demikianlah keadaannya hingga terbit fajar" (HR. Bukhari no. 145 dan Muslim no. 758)
" Rabb (Tuhan) kami yang Maha Suci lagi Maha Tinggi turun kelangit dunia tiap malam ketika tersisa 1/3 malam terakhir seraya berkata: "Siapa berdo´a kepada-Ku pasti Aku kabulkan, siapa meminta kepada-Ku pasti Aku beri dan siapa memohon ampun kepada-Ku pasti Aku ampuni ia"(HR. Bukhari - Muslim)
"Posisi Rabb (Allah) yang paling dekat dengan hambanya adalah dipenghujung malam, jika anda mampu untuk berzdikir kepada Allah pada saat itu maka lakukanlah" (HR. At-Tirmidzi, Ibn Huzaimah dll dengan sanad shahih)
"Pintu-pintu langit dibuka pada pertengahan malam lalu penyeru-pun menyeru: "Apakah ada orang berdo´a, pasti dikabulkan do´anya. Apakah ada orang meminta, pasti diberi permintaannya. Dan apakah ada orang yang sumpek (banyak problem), pasti dihilangkan darinya. Maka tidaklah seorang muslimpun yang berdo´a saat itu melainkan pasti Allah mengabulkannya kecuali zaniah (pelacur yang belum bertaubat) dan `Asysyaar (Seorang yang mengambil harta manusia dengan cara bathil)" (Hadits shahih diriwayatkan at-Tabhrani)
"Sesungguhnya, di malam hari ada satu waktu. Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah mohon kebaikan dunia dan akhirat di malam itu, kecuali Allah pasti mengabulkan permohonannya. Waktu tersebut ada pada tiap-tiap malam" (HR. Muslim No. 757)
"Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: "Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?" (HR Bukhari 3/25-26)
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya" Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)
Dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwasanya rasulullah bersabda: "shalat yang paling dicintai Allah adalah shalatnya nabi Daud, dan puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasanya nabi Daud, beliau tidur separuh malam, bangung sepertiganya, tidur seperenamnya, dan berpuasa satu dan tidak berpuasa satu hari" (muttafaq alaih).
Menjadikan sebab masuk surga.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali persaudaraan dan sholatlah ketika manusia terlelap tidur pada waktu malam niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat" (HR. Ibnu Majah, dishohihkan oleh Al Albani)
Menaikkan derajat di surga: "Sungguh di dalam surga tedapat kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luar dan bagian luarnya terlihat dari dalam. Kamar-kamar itu Allah sediakan bagi orang yang memberi makan, melembutkan perkataan, mengiringi puasa Romadhan (dengan puasa sunah), menebarkan salam dan mengerjakan sholat malam ketika manusia lain terlelap tidur" (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani)

Membangkitkan 'Azzam (Keinginan Kuat) untuk Bangun Shalat Malam
"Berusaha merasakan penuh kesadaran mendalam, keinginan yang kuat serta harapan menggebu-gebu"
Kerinduan yang teramat sangat teruntuk bertaqarrub kepada Allah di keheningan malam dengan bangun malam-malam mengisinya dengan shalat dan ibadah
Kuatkan rasa cinta kita kepada Allah, apalagi dengan mengerjakan sholat malam kita akan dapat bercakap-cakap dengan Allah 'azza wa jalla lebih dekat. Betapa tiap patah kata yang kita ucapkan benar-benar munajat kepada Allah
Meyakini bahwa Allah 'azza wa jalla pasti akan memperhatikan dan menyaksikan apa saja yang terlintas dalam hati dan benak kita
Memahami, seseorang yang benar-benar ingin dicintai Allah pasti akan berusaha menyendiri (berkhalwat) dengan-Nya, merasakan lazatnya bermunajat sepenuh hati dan kekuatan. Sehingga akan menyebabkan tahan (kuatnya) beribadah sepanjang malam...
Saat untuk menatap diri pada-Nya di heningnya malam, mengadu menyampaikan segala kelu dan gelisah kita seharian meratap pada-Nya, serta menjemput ketenangan jiwa

Berusaha Menunaikanya Berarti Kita Telah Mentaati Perintah Allah dan Rasul-Nya dan Allah Akan mengangkat Kita ke Tempat yang Terpuji
"Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (Al-Isro':79)
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: "At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat "sebagai ibadah nafilah" yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu' (sunnah) bagi umat beliau" (lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Ketika Allah menyebutkan sifat-sifat orang yang bertakwa bahwa mereka: "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka mohon ampun (kepada Allah)" (Adzariyat : 17-18).
Allah Ta'aala berfirman tentang sifat 'ibadur-Rahman: "Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (Shalat malam)" (QS. Al-Furqan: 64)
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (untuk shalat malam), sedang mereka berdo´a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan" (QS. As-Sajdah: 16-17)

Meneladani Rasulullah, Sebaik-baik Teladan yang Kita Diperintah untuk Mengikutinya
"Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan" (Al-Muzzammil: 1-4)
Dari aisyah -Radhiallahu 'Anha berkata: "Bahwasannya Rasulullah -Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam shalat malam sampai pecah-pecah (bengkak) kedua kakinya, lalu akupun berkata kepada Beliau: "Mengapa Anda lakukan ini wahai Rasulullah, padahal telah diampuni dosa anda yang lalu dan yang akan datang?" Beliau -Shallallaahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Tidakkah sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur" (HR. Bukhari - Muslim)
Al-Aswad bin Yazid berkata: "Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallaahu anha tentang shalat malam Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. 'Aisyah menjawab: "Biasanya beliau tidur di awal malam, kemudian tengah malamnya beliau bangun mengerjakan shalat malam. Bila merasa ada keperluan beliau segera menemui istri. Beliau segera bangkit begitu mendengar seruan azan. Beliau segera mandi bila dalam keadaan junub. Jika tidak, maka beliau segera berwudhu' lalu berangkat (ke masjid untuk) shalat" (HR. Al-Bukhari)
Shalat malam rasulullah sangat mengagumkan: Abu Abdillah Hudzaifah ibnul Yaman Radhiallaahu anhu mengisahkan: "Pada suatu malam, aku pernah shalat tahajjud bersama Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau mengawali shalat dengan membaca surat Al-Baqarah, saya berkata di dalam hati, "Mungkin setelah membaca kira-kira seratus ayat, ternyata beliau terus tidak berhenti, saya berkata lagi di dalam hati, "Mungkin, beliau selesaikan pembacaan surat Al-Baqarah. Dalam satu raka'at ternyata beliau terus memulai surat Ali Imron kemudian terus mem-bacanya saya berbicara di dalam hati: (mungkin) beliau mau ruku setelah selesai Ali-Imron, ternyata beliau terus membaca surat An Nisa sampai habis. Beliau membaca surat-surat tersebut dengan bacaan tartil. Setiap kali membaca ayat yang menyebutkan kemahasucian Allah Ta'ala beliau selalu bertasbih (mengucapkan subhanallah). Setiap kali membaca ayat yang berisikan permohonan, beliau pasti berdoa. Setiap kali membaca ayat yang menyebutkan permintaan berlindung diri kepada Allah Ta'ala, beliau segera mengucapkan ta'awwudz. Ketika ruku' beliau membaca: Subhaana Rabbiyal 'Adzhiim ("Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung") Lama ruku' beliau hampir sama dengan lama berdiri. Kemudian beliau mengucapkan: Sami'allahuliman hamidah, Rabbana lakal hamdu "Allah Maha mendengar terhadap hamba yang memuji-Nya. Ya Rabb kami, segala puji bagi-Mu." Kemudian beliau tegak berdiri (i'tidal), hampir sama lamanya dengan ruku'. Kemudian beliau sujud dan membaca: Subhaana Rabbiyal 'A'la ( "Maha Suci Rabbku Yang Maha Luhur." ) Lama sujud beliau hampir sama dengan lama i'tidal." (HR. Muslim)

Qiyamullail Adalah Kebiasaan Orang-Orang Shalih dan Calon penghuni Syurga
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)" (Adz-Dzariyat: 15-18)
"Hendaklah kalian melakukan sholat malam, karena sholat malam itu adalah kebiasaan orang-orang sholih sebelum kalian, dan ibadah yang mendekatkan diri pada Tuhan kalian serta penutup kesalahan dan sebagai penghapus dosa" (HR. Tirmidzi no. 3549, Al Hakim I/380, Baihaqi II/502. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil II/199/no. 452)
"Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam" (HR Muslim No. 2478 dan 2479). Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma: "Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan shalat malam, lalu ia meninggalkannya" (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185)

Meneladani Kesungguhan Para Salafus Shalih Dalam Menegakkan Qiyamul Lail
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur'an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar menyingsing
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: "Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?" Beliau menjawab: "Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya"
Abu Sulaiman berkata: "Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini"
Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : "Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah"

Mengingat, Kemuliaan Seorang yang Beriman Ada Pada Shalat Malamnya
Ketika Jibril datang pada Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Hai Muhammad, kemuliaan orang beriman adalah dengan sholat malam. Dan kegagahan orang beriman adalah sikap mandiri dari bantuan orang lain" (HR. Al Hakim, dihasankan oleh Al Albani, Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 831)
"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan"(QS. Al-Muzammil: 6)
Qiyamul lail merupakan amalan utama, lebih utama daripada shalat sunnah di siang hari; karena di waktu sepi kita akan lebih ikhlas kepada Allah dan karena beratnya meninggalkan tidur, serta kelezatan bermunajat kepada Allah azza wajalla terutama pada kemuliaan 1/3 akhir malam
Maka berusaha menjadikan qiyamullail kebiasaan dan kebutuhan pokok kita
Sebagaimana betapa butuhnya kita akan kasih-sayang Allah menghamba pada-Nya, maka kita buktikan dengan senantiasa menghadap pada-Nya di 1/3 akhir malam, berkesendirian dengan-Nya

Meniatkan ('azzam yang kuat/affirmasi diri) Sebelumnya Untuk Bisa Bangun Memuliakan Keheningan Malam dengan Beribadah Kepada Allah
Berusaha bersikap adil teruntuk dunia dan akhirat kita
Mengingat: "Jika malam-malam kita sebelumnya telah sekian lama kita habiskan untuk tidur saja, sudah saatnya mulai malam ini kita bangun membasuh muka dengan air wudhu' dan lekas menyongsong perjumpaan denganNya"
Serta, sudah Adilkah jatah waktu kita antara dunia dan akhirat dalam keseharian kita?, maka mari kita menggenapi ketidak-adilan kita selama ini pada agama dan akhirat kita serta urusan diri kita kepada Allah dengan bersegera...
Mulai malam ini, saat Allah masih memberi kesempatan pada diri kita sebelum kesempatan itu tiada (Allah mencabut-Nya)...
Menjadikan tiap malam kita menjadi malam-malam yang berkesan, penuh dengan doa-doa kita memohon ampun kepada Allah, bercakap-cakap erat dengan-Nya dan bukanya bertabur dosa dan kemaksiatan
Buktikan kita benar-benar mengharap hidayah dan kekuatan dari Allah, sehingga hati kita akan menjadi bersih, dan diberi kemudahan menuju jalan kebaikan dan keselamatan akhirat kita
Dan semoga kita termasuk golongan hamba-Nya yang beruntung
Merasakan manfaatnya bagi jiwa kita; dengan melaksanakannya akan mendatangkan pencerahan pada jiwa dan ketenangan hati kita
Mencukupkan malam-malam kita sebagai tempat berkeluh kesah hanya kepada Allah. Dengan sederas mungkin tangis kita, biarlah air mata meluap menunjukkan kelemahan dan ketidak-berdayaan diri kita
Tatkala seorang hamba menyembunyikan amal ibadah tertutup pekatnya malam, insya Allah Allah akan menutup pula aib-aib kita dan terhindar dari segala keburukan amalan kita

Mengusahkan Hal-hal Yang Akan Mempermudah Kita Bangun Malam
Mengusahakan tidak terlalu banyak makan dan minum sebelumnya
Yang akan membuat perut terlalu kenyang dan mata mengantuk (terasa berat) untuk bangun ditengah malam
Mengusahakan untuk tidur pada siang hari meskipun sebentar
Sebab dengan adanya tidur siang tersebut akan memudahkan kita untuk bangun malam
Berusaha senantiasa memuliakan masjid dan menitipkan hati kita disana
Dengan meramaikanya untuk ibadah dan shalat jamaah diawal waktu (teruntuk laki-laki)
Sehingga akan terbiasa, merasuk menjadi jati diri kita untuk senantiasa menjaga waktu-waktu ibadah kita kepada Allah secara berjamaah penuh kesadaran
Berusaha dekat dan bergaul merekatkan diri pada orang-orang shaleh
Orang yang akan memberi kita nasehat (mengingatkan) akan kesalahan dan kekurangan diri kita
"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah" (QS Ali Imran [3]: 110)
Dan bukan sekedar teman dalam kesenangan saja yang biasanya malah menjerumuskan (menyesatkan)

Berusaha meninggalkan Maksiat, Dosa dan Perbuatan Bid'ah
Al-Imam Hasan Al-Bashri pernah menegaskan:
"Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail." Ada seseorang yang bertanya: "Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?" Beliau menjawab : "Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam" (Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)
Berusaha untuk senantiasa mengawasi diri (menghisab diri) tiap amalan kita
Bahkan dari segala yang terlintas dalam benak kita serta informasi yang layak (boleh masuk) dalam ingatan (perhatian) kita

Memanfaatkan Segala Sumber-Daya Yang Kita Miliki Untuk Bisa Bangun Shalat Malam
Seperti beker, alarm HP dan program-program reminter shalat (seperti mawaqit untuk hp yang sudah support java), dll serta teman, dan suami-istri untuk saling membantu serta berjamah melaksanakanya
Selain saling membangunkan suami-istri, dan keluarga juga saling membangunkan tetangga atau teman dengan menelpon/misscal melalui HP-nya. Saling berta'awun dalam kebaikan dan taqwa
"Allah memberi rahmat kepada seorang suami yang bangun malam lalu shalat dan (tidak lupa) membangunkan istrinya kemudian ia shalat juga. Jika istrinya enggan, dia (boleh) memerciki wajah istrinya dengan air. Allah memberi rahmat kepada seorang istri yang bangun malam kemudian mengerjakan shalat, dan ia tidak lupa membangunkan suaminya. Jika suaminya malas bangun, ia boleh memerciki wajah suaminya dengan air" (HR Abu Daud).

Mempersiapkan Diri Sebelumnya Dengan Tidur Diawal Waktu dan Meniatkan Untuk Bangun Shalat Malam
"Disunnahkan bagi seorang muslim tidur dalam keadaan suci, dan barangsiapa yang bermalam dalam keadaan suci maka malaikat ikut bermalam bersamanya, dan ia tidak bangung kecuali malaikat berkata: Ya Allah, ampunilah hambamu fulan, karena ia bermalam dalam keadaan suci"(HR. Ibnu Hibban)
Disunnahkan segera tidur (tidur di awal malam dan menjauhkan diri dari begadang kecuali dalam hal-hal yang baik) agar bisa bangun untuk shalat malam dengan segar, dan disunnahkan bangun ketika mendengar adzan, sebagaimana sabda rasulullah: "apabila salah seorang dari kalian tidur, setan membuat tiga ikatan di kepalanya, ia mengatakan pada setiap ikatan, malam masih panjang maka tidurlah"
Rasulullah membenci tidur sebelum shalat 'isya dan berbicara sesudah Shalat Isya. sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Ibnu Mas'ud:
"Tidak diperkenankan bercakap-cakap di malam hari kecuali bagi orang yang sedang mengerjakan shalat atau sedang bepergian" (HR. Ahmad, As-Suyuti menandainya sebagai hadits hasan).
Ketika akan tidur memperhatikan adab-adab tidur
Seperti membaca do'a sebelum tidur, membaca ayat kursi, membaca 2 ayat terakhir dari surat Al Baqarah, membaca Surat Al Kaafirun, dll
Sunnah sebelum tidur berniat qiyamullail, jika ia tertidur dan tidak bangun, maka ditulis baginya apa yg ia niatkan, dan tidurnya merupakan sedekah dari tuhan kepadanya
Termasuk permohonan untuk dibangunkan agar bisa menunaikan shalat malam
Dan menjaga niat ikhlas karena mengharap ridha Allah
Seorang muslim seharusnya berusaha bangun malam dan tidak meninggalkannya, karena nabi sendiri melakukan qiyamul lail hingga kakinya pecah-pecah

Persiapan Sebelum Shalat Tahajjud
"Jika ia bangun dan berdzikir kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan, jika berwudhu' maka lepas satu ikatan, dan jika shalat, lepas satu ikatan, maka ia masuk waktu pagi dengan segar dan jiwanya tenang, kalau tidak, maka ia masuk waktu pagi dg jiwa yg tidak tenang dan malas" (Muttafaq alaih)
Begitu bangun tidur usap wajah dengan kedua telapak tangan kita seraya membaca doa bangun tidur atau sekurang-kurangnya mengucapkan:
Alhamdulillah..., dilanjutkan dengan membaca QS. Ali Imran ayat 190
Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat lail untuk bersiwak (menggosok gigi lebih dahulu sebelum wudu') dan membaca ayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran mulai dari firman Allah..
Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumu dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" [ Ali Imran : 190] dibaca sampai akhir surat
Disunnahkan shalat tahajjud di rumah, membangunkan keluarganya dan sekali-kali shalat mengimami mereka
Tidak shalat dalam keadaan mengantuk, jika sangat mengantuk segera tidur

Sunnah Memulai Shalat Lail Dengan 2 raka'at Yang Ringan (pendek). Hal itu dilakukan hingga datangnya semangat untuk memanjangkan raka'atnya setelah 2 rakaat yang pendek tersebut
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan shalat lail hendaklah membuka shalatnya dengan shalat 2 raka'at yang ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent)" [Hadits Riwayat. Muslim no. 768]

Sunnah Memulai Shalat Malam Dengan Do'a yang Shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
"Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki" [Hadits Riwayat. Muslim no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu Majah no. 1357]

Sunnah Memanjangkan Shalat Malam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Shalat apakah yang paling baik?" Rasulullah menjawab : "Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)" [Hadits Riwayat. Muslim no.756]
Qunut dalam hadits ini memiliki banyak arti berdasarkan banyak riwayat. Dalam Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi Hayyaan) pasal Qaf Nun disebutkan tentang makna qunut antara lain do'a, berdiri, tenang, diam, ketaatan, shalat, kekhusu'an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.
Juga sunnah memperpanjang sujud dan memanjangkan berdiri membaca al-Qur'an (membaca surat pabjang yang kita kuasai). Sesekali membaca dengan keras dan sekali-kali pelan

Sunnah Berta'wudz (Memohon Perlindungan Allah) Ketika Membaca Ayat tentang 'Adzab dengan ucapan:
"Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah"
Dan Memohon Rahmat Allah Ketika Membaca Ayat tentang Permohonan dengan ucapan
"Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu"
Dan Bertasbih Ketika Membaca Ayat-Ayat yang Mengandung Pujian tentang Ke-Maha-Sucian Allah
Hal diatas berdasar hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca (ayat) dengan tartil apabila beliau melewati satu ayat tasbih maka beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat permohonan (tentang rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat memohon perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…" [Hadits Riwayat. Muslim no. 772]

Disunnahkan (Orang yang Mengerjakan Shalat Malam) Berdoa Dengan Do'a Shahih yang Diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
"Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah Penegak langit dan bumi dan segala isinya. BagiMu segala puji, milikMu kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta segala isinya). bagiMu segala puji, Engkau penguasa langit dan bumi. bagiMu segala puji Engkau lah Yang Maha benar, janji-Mu itu benar adanya dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar (utusanMu), kiamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali, kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah dosaku di masa lalu, masa yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak (Karena Engkau adalah Maha Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang terdahulu dan Yang terakhir (Engkau Tuhanku) dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali Engkau" [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717]
Dan juga memanjatkan do'a yang menjadi hajat dan keinginan kita kepada Allah serta juga berusaha memperbanyak membaca wirid (dzikir) serta jika masih ada waktu bisa mengerjakan shalat suhnah yang lain (sebelum ditutup dengan shalat witir)
(No. 17 - 21 ana kutip dari: http://wahdahsamarinda.wordpress.com/2008/03/18/sholat-sunnah-malam
Sumber asalnya dari: kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]

Akhiri dengan salat witir
Dari Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu 'anha, dia bercerita...
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat 11 raka'at pada waktu antara selesai shalat Isya –yaitu, suatu waktu yang oleh orang-orang disebut sebagai atamah- sampai Shubuh sebanyak 11 rakaat, dengan salam setiap dua raka'at dan mengerjakan shalat witir satu raka'at. Dan jika mu'adzin telah berhenti dari mengumandangkan adzan shalat Shubuh dan sudah tampak jelas pula fajar olehnya dan beliau juga sudah didatangi oleh muadzin, maka beliau segera berdiri dan mengerjakan 2 rakaat ringan, dan kemudian berbaring di atas lambung kanannya sehingga datang muadzin kepada beliau untuk mengumandangkan iqamah"
(Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qashruha, bab Shalaatul Lail wa Adadu Raka'aatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fil Lail wa Annal Witr Rak'atan wa Anna Rak'ah Shalaatun Shahiihah, (hadits no. 736. Dan asal hadits berada pada Al-Bukhari. Lihat Jaami'ul Ushuul (VI/91-96).
Dari Abu Bashrah Al-Ghifari, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda...
"Sesungguhnya Allah telah menambah untuk kalian satu shalat, yaitu witir. Oleh karena itu, kerjakanlah ia di antara shalat Isya sampai shalat Shubuh"
(Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/7 dan 397). Dan dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Ash-Shahihah (hadits no. 108)
Jadi, kedua hadits di atas secara jelas menujukkan bahwa shalat malam dan witir itu waktunya dimulai dari setelah shalat Isya (yang oleh orang-orang disebut dengan atamah) sampai waktu Shubuh
Dan pernyataan yang menyebutkan bahwa akhir waktunya adalah Shubuh, diperkuat oleh apa yang ditegaskan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Dan jika salah seorang di antara kalian khawatir (akan) masuk waktu Shubuh, maka hendaklah dia mengerjakan shalat satu raka'at shalat witir sebagai penutup bagi shalat yang telah dikerjakannya" (Takhrij hadits ini akan diberikan selanjutnya pada pembahasan berikutnya)
Ibnu Nashr mengatakan:
"Yang menjadi kesepakatan para ulama adalah bahwa antara shalat Isya sampai terbit fajar merupakan waktu shalat witir. Dan mereka berbeda pendapat mengenai waktu setelah itu sampai shalat Shubuh dikerjakan. Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan untuk mengerjakan shalat witir sebelum terbit fajar" (Mukhtashar Qiyaamil Lail, hal. 119)
Maka bisa saya katakan,
"Yang terbaik bagi orang yang khawatir tidak bisa bangun, di akhir malam untuk mengerjakan shalat di awal waktu. Sedangkan bagi siapa yang yakin akan bangun, maka yang terbaik baginya adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat witir sampai akhir malam"
Hal ini didasarkan pada apa yang ditegaskan dari Jabi Radhiyallahu 'anhu, di mana dia bercerita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Barangsiapa khawatir tidak bangun di akhir malam, maka hendaklah dia mengerjakan shalat witir di awal waktunya. Dan barangsiapa yang serius hendak bangun di akhir malam, maka hendaklah dia mengerjakan shalat witir di akhir malam, karena sesungguhnya shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh para Malaikat). Dan demikian itu lebih baik"
(Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qasruha, bab Man Khaafa an laa Yaquuma Aakhiral Lail fal Yuutir Awwaluhu, (hadits no. 755)

Tentang bab shalat witir ini dinukil dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]. Sumber ana daptkan dari: http://www.almanhaj.or.id/content/2361/slash/0

Beberapa Kesimpulan Penutup
Hukum sholat malam adalah sunah muakkad
Waktunya adalah setelah sholat 'isya sampai dengan sebelum waktu sholat shubuh
Akan tetapi, waktu yang paling utama adalah 1/3 malam terakhir dan boleh dikerjakan sesudah tidur ataupun sebelumnya
Jumlah rakaatnya paling sedikit adalah 1 rakaat
Berdasarkan sabda Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam,
"Shalat malam adalah 2 rakaat (salam) 2 rokaat (salam), apabila salah seorang di antara kamu khawatir akan datangnya waktu shubuh maka hendaklah dia sholat 1 rokaat sebagai witir baginya" (HR. Bukhori dan Muslim)
Dan jumlah rakaat paling banyak adalah 11 rakaat
Berdasarkan perkataan 'Aisyah radhiyallohu 'anha, "Tidaklah Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam:
"Sholat malam di bulan ramadhon atau pun bulan yang lainnya lebih dari 11 rokaat" (HR. Bukhori dan Muslim), walaupun mayoritas ulama menyatakan tidak ada batasan dalam jumlah rakaatnya
Demikianlah beberapa keutamaan, kemuliaan dan keindahan qiyamul lail
Sungguh kita akan merasakan keindahannya bila hati kita telah diberi taufik oleh Allah ta'ala dan tidak akan merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik Allah subhanahu wata'ala
Semoga kita semua bisa senantiasa berusaha menjadi hamba-Nya yang beruntung tersebut; "diberi keutamaan menegakkan qiyamullail dengan beristiqamah"
Dan mari kita berazzam (mengi'tiqadkan diri dengan kuat) untuk berusaha senantiasa menghidupkan malam-malam kita bersama kemuliaan yang dianugerahi-Nya

Wallahu waliyyut taufiq
Wallahu'alam bisshowab...

Hamba yang senantiasa mengharap kekuatan dari-Nya, mengharap penjagaan-Nya
Muhammad Ulinnuha

*) Beberapa dalil dikutip dari banyak sumber

Windows® phone

10 Bintang Al Quran


Setiap orang tua muslim pasti ingin memiliki anak-anak yang shalih dan berprestasi. Apalagi setelah memahami bahwa setelah kematian akan terputus segala amal kecuali tiga hal, salah satunya adalah anak shalih yang mendoakan kedua orangtuanya. Diantara prestasi islami yang identik dengan indikator keshalihah adalah hafal Al-Qur'an. Betapa senangnya jika kita bisa memiliki anak-anak yang hafal Al-Qur'an. 10 Bersaudara Bintang Al-Qur'an ini merupakan sebuah karya yang –seperti kata Ustadz Yusuf Mansur- akan menginspirasi banyak keluarga di tanah air. Ternyata membesarkan anak di masa sekarang untuk menjadi hafiz Al-Qur'an bukan sesuatu yang mustahil.

Buku ini adalah kisah nyata sebuah keluarga muslim di Indonesia. Keluarga yang mampu menjadikan 10 orang buah hati mereka sebagai anak-anak yang shalih, hafal Al-Qur'an dan berprestasi. Keluarga luar biasa itu adalah pasangan suami istri Mutammimul Ula dan Wirianingsih beserta 10 putra-putri mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah, kedua orang tua ini tergolong super sibuk dengan berbagai aktifitasnya. Mutammimul Ula adalah anggota DPR RI. Sedangkan Wirianingsih adalah Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia dan Ketua Umum PP Salimah (Persaudaraan Muslimah) yang cabangnya sudah tersebar di 29 propinsi dan lebih dari 400 daerah di Indonesia.

10 bersaudara bintang Al-Qur'an itu adalah :

1. Afzalurahman Assalam
2. Faris Jihady Hanifa
3. Maryam Qonitat
4. Scientia Afifah Taibah
5. Ahmad Rasikh 'Ilmi
6. Ismail Ghulam Halim
7. Yusuf Zaim Hakim
8. Muhammad Syaihul Basyir
9. Hadi Sabila Rosyad
10. Himmaty Muyassarah

Afzalurahman Assalam

Putra pertama. Hafal Al-Qur'an pada usia 13 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai peserta Pertamina Youth Programme 2007.

Faris Jihady Hanifa

Putra kedua. Hafal Al-Qur'an pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz. Saat buku ini ditulis usianya 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariat LIPIA. Peraih juara I lomba tahfiz Al-Qur'an yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.

Maryam Qonitat

Putri ketiga. Hafal Al-Qur'an sejak usia 16 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 19 tahun dan duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Sekarang juga menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.

Scientia Afifah Taibah

Putri keempat. Hafal 29 juz sejak SMA. Kini usianya 19 tahun dan duduk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murottal Al-Qur'an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.

Ahmad Rasikh 'Ilmi

Putra kelima. Saat buku ini ditulis hafal 15 juz Al-Qur'an, dan duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.

Ismail Ghulam Halim

Putra keenam. Saat buku ini ditulis hafal 13 juz Al-Qur'an, dan duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.

Yusuf Zaim Hakim

Putra ketujuh. Saat buku ini ditulis ia hafal 9 juz Al-Qur'an dan duduk di SMPIT Al-Kahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.

Muhammad Syaihul Basyir

Putra kedelapan. Saat buku ini ia duduk di MTs Darul Qur'an, Bogor. Yang sangat istimewa adalah, ia sudah hafal Al-Qur'an 30 juz pada saat kelas 6 SD.

Hadi Sabila Rosyad

Putra kesembilan. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an. Diantara prestasinya dalah juara I lomba membaca puisi.

Himmaty Muyassarah

Putri kesepuluh. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an.

Dilengkapi Fakta Kemahaagungan Allah Menjaga Kemurnian Al-Qur'an sampai Akhir Zaman dan Fadhilah Menghafal Al-Qur'an
Buku 10 Bersaudara Bintang Al-Qur'an ini tidak hanya berisi bagaimana putra-putri Mutammimul Ula dan Wirianingsih menjadi penghafal Al-Qur'an. Di bagian pendahuluan terlebih dahulu dibahas Fakta Kemahaagungan Allah Menjaga Kemurnian Al-Qur'an sampai Akhir Zaman. Meliputi pembagian Al-Qur'an, Al-Qur'an sebagai Mukjizat, Sejarah Turunnya Al-Qur'an Kodifikasi Al-Qur'an, sampai Sejarah Pemeliharaan Kemurnian Al-Qur'an.

Pada bab 5 juga dibahas mengapa menjadi hafiz Al-Qur'an begitu penting. Penulis mengklasifikasikannya menjadi 2 bagian: fadhail dunia dan fadhail akhirat. Fadhail dunia antara lain: hifdzul Qur'an merupakan nikmat rabbani, mendatangkan kebaikan, berkah dan rahmat bagi penghafalnya, hafiz Qur'an mendapat penghargaan khusus dari Nabi (tasyrif nabawi), keluarga Allah di muka bumi. Sedangkan fadhail akhirat meliputi: Al-Qur'an menjadi penolong (syafaat) penghafalnya, meninggikan derajat di surga, penghafal Al-Qur'an bersama para malaikat yang mulia dan taat, diberi tajul karamah (mahkota kemuliaan), kedua orangtuanya diberi kemuliaan, dan pahala yang melimpah.

Apa Kuncinya?
Apa kunci sukses keluarga Mutammimul Ula dan Wirianingsih mendidik 10 bersaudara bintang Al-Qur'an itu? Keseimbangan proses. Walapun mereka berdua sibuk, mereka telah menetapkan pola hubungan keluarga yang saling bertanggungjawab dan konsisten satu sama lain. Selepas Maghrib adalah jadwal mereka berinteraksi dengan Al-Qur'an.

Beberapa hal yang mendukung kesuksesan ini adalah upaya mereka menjaga kondisi ruhiyah dalam keluarga:
1. Tidak ada televisi di dalam rumah
2. Tidak ada gambar syubhat
3. Tidak ada musik-musik laghwi yang menyebabkan lalai kepada Allah dan diganti dengan nasyid
4. Tidak ada perkataan yang fashiyah (kotor)

Hal yang cukup mendasar yang dimiliki keluarga ini sehingga mampu mendidik 10 bersaudara bintang Al-Qur'an adalah visi dan konsep yang jelas, yakni menjadikan putra-putrinya seluruhnya hafal Al-Qur'an. Kedua, pembiasaan dan manajemen waktu. Setelah Shubuh dan setelah Maghrib adalah waktu khusus untuk Al-Qur'an yang tidak boleh dilanggar dalam keluarga ini. Sewaktu masih batita, Wirianingsih konsisten membaca Al-Qur'an di dekat mereka, mengajarkannya, bahkan mendirikan TPQ di rumahnya. Ketiga, mengkomunikasikan tujuan dan memberikan hadiah. Meskipun kebanyakan di waktu kecil mereka merasa terpaksan, namun saat sudah besar mereka memahami menghafal Al-Qur'an sebagai hal yang sangat perlu, penting, bahkan kebutuhan. Komunikasi yang baik sangat mendukung hal ini. Dan saat anak-anak mampu menghafal Al-Qur'an, mereka diberi hadiah.

Metode Menghafal Al-Qur'an 10 bersaudara bintang Al-Qur'an
Pada bab penutup penulis memaparkan metode yang dipilih keluarga Mutammimul Ula dalam mendidik 10 bersaudara bintang Al-Qur'an: pertama, mengajarkan membaca. Kedua, repetisi (pengulangan). Ketiga, memilihkan mereka sekolah yang memiliki program utama menghafal Al-Qur'an. Secara khusus kedua orang tua juga senantiasa menjaga orientasi hafalan mereka. Keempat, saat menginjak usia remaja mereka dipahamkan tentang fadhilah membaca Al-Qur'an. Kelima, kedua orang tua menjadi teladan yang nyaris sempurna dalam dakwah, pemikiran Islam, orientasi tentang keluarga Al-Qur'an, dan senantiasa mendoakan mereka sepanjang waktu hidupnya.

Akhirnya, bagi keluarga muslim, kiranya buku 10 bersaudara bintang Al-Qur'an ini sangat penting untuk menginspirasi berikut menjadi referensi lahirnya bintang-bintang Al-Qur'an yang baru.

http://yps-alummah.blogspot.com/2010/07/10-bersaudara-bintang-al-quran.html


Windows® phone